Permulaan Puisi: Muhammad Yamin

  1. 1. Pendahuluan

Muhammad Yamin adalah penyair pertama yang menggunakan soneta dalam puisinya (1921). Maka ia dianggap sebagai pelopor cita- cita pujangga baru di lapangan bahasa dan kesusasteraan Indonesia. Berikut ini adalah penjelasan mengenai permulaan puisi oleh Muhammad Yamin.

  1. 2. Ringkasan

Muhammad Yamin lahir pada tanggal 23 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Minangkabau, Sumatra Barat. Saat berumur 17 tahun Yamin menerbitkan sejumlah sajak melayu dalam Jong Sumatera yang harus dianggap sebagai pegucapan yang pertama dalam sebuah kesusastraan Indonesia modern. Puisi-puisinya tidak mendengungkan suara politik maupun garang serta berapi- api, tetapi merupakan puisi lirik seorang individu yang penuh keharuan dan putus asa. Namun pada tahun 1921 ia menulis sajak Bahasa, Bangsa yang tidak mencerminkan ciri tersebut.

BAHASA, BANGSA

Selagi kecil berusia muda,

Tidur si anak di pangkuan bunda

Ibu bernyanyi, lagu dan dendang

Memuji si anak banyaknya sedang;

Berbuai sayang malam dan siang

Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri

Diapit keluarga kanan dan kiri

Besar budiman di tanah melayu

Berduka suka, sertakan rayu;

Perasaan serikat menjadi padu

Dalam bahasanya, permai merdu.

Meratap menangis bersuka raya

Dalam bahagia bala dan baya;

Bernafas kita pemanjangkan nyawa

Dalam bahasa sambungan jiwa

Di mana Sumatra, di situ bangsa,

Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana bejana

Sejakkan kecil muda teruna

Sampai mati berkalang tanah

Lupa ke bahasa, tiadakan pernah

Ingat pemuda, Sumatera malang

Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

Sajak ini menarik perhatian karena bentuknya yang tidak terikat oleh kebiasan dan isinya yang orisnil, dan dianggap sebagai suatu pendahuluan yang patut dari perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh bahasa serta kebudayaannya sendiri. Maka tidak dapat disangkal bahwa dalam lapangan kesusastran, Yaminlah yang pertama kali memberikan bentuk pada cita-cita itu dan setia selama-lamanya. Dalam diri Yamin terlihat hubungan erat antara cita-cita politik, kebudayaan dan bahasa. Tahun 1922 merupakan tahun penting karena muncul kumpulan sajak dan roman yang pertama karangan Yamin berjudul Tanah Air, tetapi yang dimaksud tanah air ialah pulau Sumatera. Jelaslah konsep Indoesia tidak mengilhami jiwa puitis karangan saat itu. Hal yang menarik minat pembaca adalah pemisahan yang jelas dari zaman silam. Bentuk puisi melayu tradisional (pantun dan syair) telah ditinggalkan, yang dipertahankan hanya baris sajak yang terdiri dari empat perkataan. Bentuk puisi yang terpenting saat itu ialah soneta, hanya satu dari karya Yamin yang tidak berbentuk soneta.

  1. 3. Tanggapan

Menurut Sumardi (1981:12), Yamin diperkirakan menggunakan tiga sumber, yaitu pantun, syair dan puisi barat. Dengan Muhammad Yamin memakai bentuk puisi barat maka mendapat keuntungan karena puisi tersebut dapat digunakan untuk menyatakan fikiran dan perasaan.

Yanto Bashri dan Retno Suffatni (1979:76) berpendapat bahwa Yamin memiliki kesadaran nasional, terutama diwujudkan dalam pemujaan jaya masa silam. Sedangkan sikapnya terhadap kolonialisme dinyatakan secara samar.

Jassin (1987:321) mangatakan bahwa Yamin merupakan penyair pertama yang menggunakan soneta dalam puisinya (1921). Usahanya di lapangan bahasa dan kesusastraan menyebabkan ia dianggap sebagai pelopor cita-cita pujangga baru.

  1. 4. Penutup

Muhammad Yamin merupakan tokoh pergerakan nasional yang juga berperan penting dalam dunia bahasa dan kesusastraan. Ia mempelopori pembaharuan sastra di Indonesia karena ia yang pertama kali menulis puisi dalam bentuk soneta. Hanya satu dari karyanya yang tidak berbentuk sonata. Maka kita semua haruslah bersyukur dan menghargai pencapaian dan usahanya dalam dunia bahasa dan sastra tersebut.

Glosarium

Soneta: sajak yang terdiri atas empat bait (dua dait pertama masing-masing terdiri atas empat baris, dua bait terakhir masing-masing terdiri atas tida baris); sajak empat belas baris yang merupakan satu pikran atau persamaan yang bulat.

Daftar Pustaka

Badudu, J.S. dkk. 1984. Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga Tahun 40-an.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bashri, Yanto & Retno Suffatni. 1979. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta.

Depdiknas, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumardi. 1981. Puisi Indonesia dan Melayu Modern. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia. Flores: Nusa Indah